depoknet.com – Pilkada Depok 2020, telah berlalu, Golput lebih besar dari suara pemenangnya. Th 2015 dan 2020, walikota pemenang dipilih 33% dari jumlah pemilih tetap, 67% terdiri Golput dan pemilih calon lain. Hal ini menunjukan elektabilitas pemimpin dan kualitas demokrasi rendah.
Ada prinsip hukum yang disebut minus malum dan maximum bonum yang dipakai sebagai diksi, wawasan electoral. Magnis Suseno mengatakan Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik melainkan mencegah yang terburuk berkuasa (Tribunenews, 5/3/ 2018). Ini adalah diksi dalam prinsip minus malum berarti memilih yang paling sedikit keburukannya.
Atau sebaliknya maximum bonum memilih yang paling banyak kebaikannya. Diksi electoral yang disederhanakan ini, diharapkan pemilih gampang menentukan kriteria pemimpinnya, dan mendorong warga datang ke TPS sehingga mencegah terjadinya Golput.
Di Depok, diksi ini yang nota benenya tersirat atau tersurat saat kampanye calon, tetapi tidak mendorong pemahaman warga. Diksi minus malum tidak berjalan. Golput yang tetap tinggi indikasi mereka kurang peduli, siapapun pemimpinnya, bahkan yang terburuk pun.
Belum ada penelitian Golput secara komprehensif di kota Depok. Dari beberapa pengamatan dan informasi, Golput yang terjadi karena permasalahan administrasi dan teknis tidak dominan. Misal, seperti tidak terima undangan, tidak terdaftar di DPT atau masalah teknis seperti jarak TPS, kerja keluar kota tidak siknifikan dengan fakta jumlah Golput yang melampaui pemenangnya.
Justru informasi yang menarik, Golput terjadi karena apatisme politik, profil calon, dan suasana pandemi covid 19. Apatisme warga yang tidak mau ambil pusing terhadap persoalan politik, kekecewaan terhadap janji-janji politik telah mempengaruhi pemilih.
Disisi lain, profile calon incumbent yang bisa dinilai kurang menunjukan prestasi selama berkuasa juga berpengaruh. Suasana Pandemi covid 19 yang membuat warga enggan berkumpul atau datang ke TPS, kecil pengaruhnya karena sarana protokol kesehatan disiapkan di TPS. Dan terbukti tidak ada laporan cluster baru di TPS. Bahkan, Pilkada 2015, tidak ada pandemi Covid 19 angka Golput lebih tinggi dari 2020.
Ketika hasil Pilkada Depok 2020 diumumkan, Golput yang lebih besar dari pemenang seolah diabaikan. Elite politik di Dewan tidak memusingkan pelajaran Pilkada 2015 terjadi lagi di 2020. Mereka yang sebelumnya berseteru dan berseberangan saling mengucapkan selamat dan mendukung pemenang. Golput yang telah mengikis kualitas demokrasi hanya menjadi catatan sejarah, mungkin dievaluasi, tapi lambat diantisipasi.
Pertanyaannya, siapa yang dapat bermitra mengawasi pelaksanaan Pemerintahan dan Pembangunan di Depok? Mungkinkah warga Golput yang apatis yang lampaui pemenang itu, atau warga yang kecewa terhapap pemimpin barunya? Yang nota benenya tidak bisa menuntut pertanggung jawaban.
Atau mungkinkah anggota dewan dari Parpol yang masih tergoda pragmatisme kepentingan dapat menyalurkan aspirasi konstituennya?
Semoga di Depok muncul pejuang kedaulatan rakyat yang berani bersikap kritis untuk membela hak hak warganya yang terlepas dari pragmatisme kepentingan lain, tetapi hanya untuk kepentingan kesejahteraan yang berkeadilan bagi warga Depok.
Penulis : Maryono, warga Kalimulya – Depok