DEPOKNET – Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diawali dari tingkat kelurahan, seharusnya sudah harus mampu menangkap sense of Crisis yang terjadi dalam perencanaan Anggaran Daerah.
Sebab, apabila perencanaan di tingkat kelurahan terpola dan cenderung dari tahun ke tahun sama yakni 70 persen fisik dan 30 persen non fisik, hal itu menunjukkan dinamika perencanaan tidak tanggap terhadap situasi krisis yang sedang dihadapi.
Pernyataan tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik, Maryono menyikapi kegiatan musrenbang tahun anggaran 2022 yang tengah digelar di kota Depok dalam kondisi masa pandemi Covid-19.
Menurut Maryono, dalam instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 1 tahun 2020, jelas ditegaskan alokasi anggaran diutamakan untuk penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi dan pengadaan jejaring pengamanan sosial, atau social safety net.
Mirisnya lanjut pria yang biasa disapa Pakde Mar, dalam situasi pandemi ini perencanaan program dan kegiatan yang cenderung terpola di tingkat dasar, jauh dari kata prioritas sesuai instruksi Mendagri tersebut, apalagi bila tidak produktif dan hanya bersifat konsumtif.
“Kita dapat bayangkan, bila seluruh perencanaan anggaran di kelurahan tahun ini refocusing atau diprioritaskan sepenuhnya sesuai Instruksi Mendagri, tentunya penanganan Pandemi Covid 19 lebih cepat dan efektif,” ujar Maryono, Sabtu (1302/2021)
Pasalnya kata Pakde Mar, kebutuhan di kelurahan saat ini tidak hanya hand sanitizer, masker, baju perlindungan khusus hingga disinfektan. Tetapi juga ruang-ruang isolasi mandiri bagi warga, bantuan sosial, penguatan ekonomi dan obat obatan atau suplemen untuk imunitas warga.
“Juga termasuk penguatan sarana dan prasarana Tim Gugus Tugas di tingkat kelurahan juga sangat prioritas,” tambahnya.
Lantas apakah perencanaan kegiatan pembangunan fisik di tingkat kelurahan tidak perlu. Menurut Pakde Mar permasalahannya bukan salah atau benar tentang kebutuhan fisik tersebut, tetapi ini tentang sense of crisis yang harus dikedepankan.
“Dalam menghadapi keprihatinan nasional seharusnya itu menjadi bagian prioritas dan perlu diutamakan sesuai masalah yang tengah dihadapi. Sementara program dan kegiatan lain bisa ditunda,” tuturnya.
Ditegaskan Pakde Mar, instruksi Mendagri nomor 1 tahun 2020 disamping sebagai landasan, juga menjadi red-flags, yakni sebuah kesepakatan nasional sebagai tanda awal mulai krisis. Seharusnya Instruksi itu menuntut Pemerintah Daerah untuk secara proaktif mengidentifikasi, menerapkan dan memberikan petunjuk teknis (juknis) proses perencanaan yang diarahkan mencegah potensi krisis dan/atau dapat mengurangi dampak jika krisis terjadi.
Ditempat terpisah, Ketua DPC Perindo kota Depok, Anwar Nurdin berharap Pemerintah Daerah kota Depok selayaknya paham memaknai krisis pandemi saat ini dalam perencanaan APBD kota Depok.
Ditegaskan warga Pancoran Mas ini, Pemkot Depok bersama DPRD kota Depok mestinya memiliki pandangan yang utuh tentang krisis, tidak hanya terpaku pada dampaknya, tetapi perlu memikirkan skenario lain yang menurutnya bisa saja muncul sampai di akar rumput akibat pandemi Covid-19.
“Krisis harus dipahami secara holistik, menyeluruh. Seperti pemahaman pandemi saat ini tentang hidup dan mati, membangun dan menghancurkan kehidupan sosial ekonomi bahkan psikologis masyarakat,” tandasnya.
Untuk itu kata Anwar, dalam menghadapi pandemi memang diperlukan Kepala Daerah yang harus bisa senantiasa terus beradaptasi dengan perubahan yang ada. Sehingga dibutuhkan kecerdasan-dan improvisasi baru untuk bisa menghadapi krisis serta hal ketidakpastian yang bisa saja terjadi. (Ant/DepokNet)