Mempelajari perjalanan hidup rasul adalah keniscayaan dalam usaha peneladanan terhadap perilaku, tutur kata, serta keputusan Beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan paripurna.
Urgensi pembelajaran terhadap sirah, sejarah, dan tarikh Islam khususnya yang berkaitan dengan kehidupan Beliau terkadang menjadi identik bahkan tidak bisa dijadikan “nomor dua” dalam memenuhi keinginan berbagai puncak bentuk kebaikan.
Sebuah ketetapan, setidaknya dalam pengertian kejadian masa lalu sebagai realita yang tidak dapat diubah, Rasul adalah rujukan utama berupa manusia berbagai aturan terbaik, kondisi, dan contoh penuh berkah.
Mengapa dikatakan keberkahan yang melekat pada rasul sekedar contoh, bagaimana bisa?! Hal ini mungkin sulit dipahami oleh mereka yang dangkal dari sisi spiritual atau masih belia. Pemahaman berkah yang sesungguhnya khususnya dalam kepribadian Rasul adalah tercermin pada niat meneladaninya, usaha, dan tujuan-tujuan mulia.
Terkhusus terhadap tiga poin disebut terakhir, penekanan pada niat yang notabene tersembunyi, dengan usaha sebagai langkah perwujudan serta tujuan-tujuan sebagai keinginan yang belum menjadi nyata dalam realita sejarah tidak jarang berlainan dan tampak tidak konsisten bahkan bertentangan.
Sebenarnya al-Qur’an secara zahir dan tegas bicara tentang hal tersebut, seperti “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (al-Anbiyaa’: 35). Maknanya, dalam disiplin Tasawuf atau ilmu-ilmu khas kejiwaan membahasakannya dengan istilah makna bathin, sering kali dipertegangkan (hidup), terutama oleh sebagian kalangan yang berkepentingan.
Kajian Tasawuf, dalam kerangka keilmuan; Ilmu Tasawuf, berusaha mencari makna bathin al-Qur’an. Kajian keilmuan yang mensyaratkan objektivitas atau setidaknya keseimbangan atas berbagai realita dan pandangan mengistilahkan makna tersebut sebagai misteri.
Keterkaitan pemaknaan al-Qur’an dengan realita atau kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti (“kauniyyah”) du masyarakat sering mengalami pertentangan. Sehingga tidak heran tasawuf sering kali kontroversi. Hini dapat dilihat dalam artikel berjudul “Misteri di Balik Ungkapan al-Qur’an adalah Makhluk” dalam Portal Seruni.
Kembali kepada Hikmah, khususnya dalam pengamalan perintah Rasul (baik wajib, sunnah dan lainnya yang bersumber Hadits Nabi), bagi sebagian kalangan adalah suatu keharusan. Terdapat kelompok dari Umat Islam yang menerapkan “Sunah Nabi” secara ketat. Lagi-lagi, keparipurnaan Rasul sebagai teladan, keberkahan juga diterapkan secara keseluruhan. Bahkan terkadang hukum-hukum yang ditetapkan menjadi tidak lebih mengikat dari menerapkan secara keseluruhan.
Artinya, pada kesempatan kali ini ulasan yang ingin disampaikan penulis adalah tentang keutamaan perintah rasul, bukan hendak mengulas tasawuf atau membagi-bagi umat Islam menjadi kelompok-kelompok serta berusaha memberdayakan dalam pola-pola.
Semua yang berkaitan dengan rasul adalah kebaikan paripurna, fisik, akhlak, dan spiritualitas tinggi, maka menjadi suatu kerugian luar biasa bagi melewatkannya. Maka! Penulis menangkap suatu peluang di sini, bahwa tidak ada celah untuk tidak meneladani Beliau Shallahu ‘alahi wa sallam dalam kehidupan keseluruhan (tindakan, ucapan, dan kepribadian), adalah celah kesempatan peluang kelonggaran.
Kelonggaran tidak ditempuh dengan menyelisihi, mengubah, terlebih berpaling untuk mendustakan, tetapi mengenal diri sendiri untuk mencipta peluang “lalai dari menerapkan” “sunah rasul” tersebut, simak contoh di bawah.
Penulis berwasiat kepada diri pribadi, juga kepada pembaca untuk memakamkan (mengubur) jenazah penulis ketika mati kelak tepat di sekitar pemakaman orang tua di kampung halaman. Hal ini, mungkin tidak dilakukan Rasul, dan jenazah Beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di tempat wafat, bukan tempat kelahiran.
Contoh pemakaman penulis angkat di atas, dipandang sebagai kesempatan yaitu kelonggaran namun tidak juga menyelisihi firman Allah yang berkaitan, yaitu: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q. S. Luqmaan: 34).
Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI sebagaimana dilansir dari https://tafsirweb.com menyatakan ayat ini memaparkan lima hal gaib yang hanya diketahui Allah hakikatnya. Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang kapan hari kiamat tiba; dan dia yang menurunkan hujan pada waktu, tempat, dan kadar yang ditentukan-Nya; dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, terutama jenis kelamin, karakter, dan sifat-sifatnya. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan dikerjakannya atau didapatinya besok, namun mereka tetap wajib berusaha. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah maha mengetahui dengan ilmu-Nya yang mutlak dan tidak terbatas pada lima hal gaib tersebut, maha mengenal karena ilmu-Nya meliputi hal-hal lahir dan batin. []1-2. Alif l’m m’m. Hanya Allah yang mengetahui hakikat maknanya. Allah-lah yang menurunkan Al-Qur’an, suatu mukjizat yang tidak dapat ditandingi. Turunnya Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, yaitu dari tuhan yang menguasai, mengatur, dan merawat seluruh alam. Al-qur’an bukan ciptaan manusia, tidak terkecuali nabi Muhammad. Al-qur’an juga bukan syair, apalagi sihir. “Allahu a’lam.”
Kelonggaran Menjalankan Sunah: Suatu Kaidah
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta
“Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis”