DEPOKNET – Dalam Peraturan Daerah (Perda) kota Depok Nomor 16 tahun 2013 tentang Kepariwisataan, telah mengatur dan mengizinkan adanya usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi di kota Depok seperti Penyelenggaraan Musik Hidup, Karaoke, Panti Pijat dan Mandi Uap, termasuk hiburan malam yakni Diskotik, Klub Malam, dan Pub.
Perda tersebut mengganti Perda yang lama yakni Perda Kota Depok Nomor 21 tahun 2003 tentang Izin Usaha Pariwisata, dimana penyelenggaraan usaha jenis hiburan malam seperti Diskotik, Klab Malam, Pub belum diatur didalamnya.
Fakta ini sesungguhnya telah memberikan angin segar bagi pengusaha penyelenggara hiburan malam yang ingin berinvestasi di kota Depok tanpa harus cemas lagi untuk melaksanakan kegiatan usaha di kota Depok karena telah terlindungi dengan payung hukum yang jelas.
Namun sejak Perda ini diberlakukan 3 tahun yang lalu, entah mengapa tidak ada satupun tempat hiburan malam khususnya Diskotik, Klub Malam, dan Pub yang tumbuh di kota Depok. Investor dunia hiburan malam masih enggan menanamkan modalnya di kota Depok.
Dari hasil penelusuran Depok Net, ditemukan alasan mengapa para pengusaha hiburan malam enggan menanamkan modalnya untuk membuka usaha hiburan malam di kota Depok padahal sudah ada aturan yang mengizinkan kegiatan hiburan malam bisa beroperasi di kota Depok.
Salah seorang pengusaha hiburan malam menerangkan, dirinya tidak mau membuka usaha Diskotik, Klab Malam, atau Pub di kota Depok karena pajak hiburan yang dikenakan untuk itu tarifnya sangat tinggi yakni sebesar 75 persen.
Uded, panggilan akrab pengusaha ini mengatakan, di ibukota Jakarta saja tarif pajak hiburan malam hanya naik 5% tahun 2015 lalu dari awalnya 20 persen menjadi 25 persen. Ditambah lagi Pemkot Depok dalam Perda Nomor 16 tahun 2013 tentang Kepariwisataan hanya memberikan izin waktu operasional selama 3 jam yakni dari pukul 21:00 sampai jam 24:00 tiap harinya. Sementara waktu operasional tempat hiburan malam di Jakarta sendiri dimulai dari pukul 20:00 sampai pukul 02:00 dan di hari Jumat dan Sabtu hingga pukul 03:00 dini hari.
“Udah pajaknya tinggi, ditambah lagi izin waktu operasional hanya 3 jam, kita mau makan apa nanti, belum gaji pegawai, setoran keamanan, ormas dan tetek bengeknya, yang ada belum sebulan usaha gua bakal tutup, mampus gak tuh,” ungkap Pria tampan berdarah Padang Bali yang sudah memiliki tempat usaha hiburan di Jakarta dan Bogor.
Secara terpisah, pengamat Artis dan Hiburan Ibukota, Oscar Herbanes menyebut, usaha hiburan malam adalah usaha yang sangat menjanjikan prospek dan keuntungannya di kota metropolitan seperti kota Depok. Selain itu, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di kota Depok, penyelenggaraan hiburan tumbuh dan berkembang cukup pesat yang merupakan potensi bagi penerimaan daerah dari sektor Pajak Hiburan.
“Potensi penerimaan daerah kota Depok dari sektor Pajak Hiburan saat ini masih dapat ditingkatkan penerimaannya mengingat kebutuhan masyarakat terhadap hiburan masih cukup tinggi salah satunya pemungutan Pajak Hiburan untuk jenis Diskotik, Klab Malam, dan Pub,” sebut Oscar yang juga pengurus di Komunitas Seniman Depok (Komando) ini.
Terkait fakta tingginya tarif pajak hiburan malam yang ditetapkan Pemkot Depok namun izin waktu operasional yang diberikan hanya 3 jam sehari, Oscar meminta agar Pemkot Depok bisa fleksibel dan realistis menetapkan peraturan.
“Pemkot Depok satu sisi memberikan izin, tapi kegiatan dibatasi waktu hanya sekejap dan dicegat dengan pajak tinggi. Saya sih melihat Pemkot dari awalnya memang gak punya niat mengizinkan adanya hiburan malam seperti diskotik, Klab Malam dan Pub muncul di Kota Depok,” timpal Oscar
Hal senada juga disampaikan oleh Albertus John Morris, sekretaris LSM Gerakan Lokomotif Pembangunan (Gelombang) kota Depok yang sejak 2012 turut mendesak Pemkot merevisi Perda Kota Depok Nomor 21 tahun 2003 tentang Izin Usaha Pariwisata karena tidak nyambung dengan Perda tentang Pajak Daerah.
John Morris menuding Pemkot Depok bersama DPRD kota Depok terlihat tidak melibatkan unsur pengusaha hiburan atau asosiasi pengusaha hiburan malam saat membuat Perda Nomor 16 tahun 2013 tentang Kepariwisataan tersebut.
“Kalau pengusaha hiburan dilibatkan minimal diundang saat hearing, tentunya akan keberatan dengan singkatnya waktu operasional dan tarif pajak yang tinggi seperti itu. Kalau maksudnya untuk menghadang agar tidak ada hiburan malam di Depok, mendingan tegas aja dilarang, gak usah kasih harapan palsu seperti itu,” tegas Morris. (CPB/DepokNet)