DEPOKNET – Adanya dualisme peraturan daerah (Perda) kota Depok tentang kepariwisataan yakni Perda Nomor 16 tahun 2013 tentang Kepariwisataan dan Perda tentang Pengelolaan Potensi Pariwisata Alam Kota Depok, banyak mengundang kecaman dari beberapa pihak.
Ketua KNPI kota Depok, Dody Riyanto, S.Kom menyayangkan telah disahkannya Perda kota Depok tentang Pengelolaan Potensi Pariwisata Alam Kota Depok karena Perda tersebut sebenarnya hanya merupakan uraian penjelasan atas aturan pariwisata alam terutama pariwisata air (Wisata Tirta) yang sudah tercantum dalam Perda nomor 16 tahun 2013 tentang kepariwisataan.
“Setuju, harusnya maksimalkan Perda yang sudah ada dulu, bila ada yang kurang jelas tentunya bisa merevisi perda yang sudah ada atau dibuatkan Perwal sebagai aturan turunan,” ungkap Dody melalui pesan BBM kepada Depoknet.
Secara terpisah, praktisi hukum dan juga pengacara para aktifis kota Depok, Rivalino Alberto Rugebreght, SH menyebut bahwa sebuah peraturan perundang-undangan terbentuk tidak terlepas dari hierarki perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pasal 7 Undang-Undang tersebut diuraikan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, dari yang paling tinggi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tapi MPR), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
“Bahwa sesuai hierarkinya, peraturan yang dibawah jelas tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Juga yang paling penting dalam pembentukan perda itu harus ada perintah pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya,” jelas Riva.
Riva mempertanyakan dasar filosofis, dasar sosiologis dan dasar yuridis dari pembentukan perda tentang pengelolaan potensi pariwisata alam ini, apa urgensinya sehingga perda kepariwisataan yang sudah ada sebelumnya dan telah mengatur kawasan pariwisata air seakan dikebiri.
Menurut hematnya, harusnya tinggal mengatur lebih lanjut saja dengan perwal, atau sebaiknya kalau mau ada sanksinya cukup merevisi perda kepariwisataan yang sudah ada dengan memasukan pengaturan tentang wisata air atau wisata sungai atau situ.
“Daripada menghamburkan dana buat perda yang baru dan akhirnya juga efektivitas dan fungsi pengawasannya apakah bisa dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri secara menyeluruh. Karena sebaik atau sedetail apapun suatu perda, apabila implementasi dan pengawasannya lemah bahkan bobrok ya percuma suatu perda dibuat,” tandas Rivalino
Pria berdarah Ambon Belanda ini mengatakan, dari pengalaman perda yang sudah sekian banyak dibuat oleh Pemkot Depok saja akhirnya jadi “Macan Kertas” yang implementasi dan pengawasannya sangat lemah. Ditambahkannya pula, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2104 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa pembuatan suatu perda itu haruslah melihat suatu hal yang mendesak (urgensi) dari adanya suatu kekosongan aturan (regulasi).
Dalam kasus dualisme perda pariwisata kota Depok ini, Riva memandang tidak ada urgensinya sama sekali karena aturan pengelolaan potensi pariwisata alam sudah tercantum dalam perda pariwisata yang sebelumnya. Dirinya juga bingung dan mempertanyakan apa yang menjadi “cantelan” aturan hukum yang dipakai sebagai dasar pembentukan perda pengelolaan potensi pariwisata alam ini.
“Jadi sebaiknya ditinjau ulang saja dan libatkan orang-orang atau pihak yang mengerti atau ahli hukum biar perda yang dilahirkan tidak sia-sia dan hanya akan menimbulkan kerancuan hukum serta tumpang tindih atas aturan hukum yang ada,” ucap Riva tegas
Selain itu, perda yang dibuat harus ada naskah akademiknya, dan di naskah akademik itu yang akan memuat dasar filosofis, dasar sosiologis, dan dasar yuridis dari dibentuknya suatu peraturan, dan nantinya bisa dilihat apakah ketiga dasar analisa tersebut sama atau berbeda antara perda yang sebelumnya dengan perda yang baru itu.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan, yang dimaksud pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Sementara peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi, asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
(CPB/DepokNet)