DEPOKNET – Study tour atau Study Lapangan yang dilaksanakan sekolah baik murid SD, SMP maupun SMA/SMK sebenarnya bisa di kategorikan sebagai metode pembelajaran yang berbentuk rekreasi. Metode pembelajaran yang dibungkus dengan “proses” menyenangkan sehingga siswa diharapkan mampu untuk mempelajari, berinteraksi dan menarik hikmah saat berada di lokasi wisata.
Kegiatan itu jika dilihat seksama, juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan khususnya pasal 19, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan.
“Tapi agaknya telah terjadi perubahan makna study tour yang sebenarnya. Study tour yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi dan strategi bisnis semata antara pihak sekolah, dinas dan pengusaha travel wisata,” ujar Sika Nofi Yani, dari Lembaga Ibu Peduli Pendidikan (LIPPEN) Kota Depok
Sika mengatakan, patut diingat bahwa study tour bukanlah suatu metode yang wajib untuk dilaksanakan, namun malah sering dijadikan pola intimidasi halus kepada siswa bahkan tak jarang disebut studi tour sebagai syarat kelulusan karena setiap siswa dipersyaratkan membuat laporan study tour.
“Study tour hanyalah suatu pilihan untuk melaksanakan pembelajaran di lapangan dan kalaupun dilaksanakan maka pihak sekolah harus merancang koordinasi yang baik mencakup proses dan hasil yang diharapkan, bukan cuma kegiatan rutin tahunan biasa yang tak ada efek apa-apa bagi pendidikan siswa,” pungkas ibu dua anak ini.
Memang jika direncanakan dengan koordinasi dan proses yang baik, study tour bisa meningkatkan keceriaan, nilai kekeluargaan, mempererat jalinan silaturahmi antara sekolah, guru dan siswa. Tapi sebagaimana esensi nilai yang terkandung dalam arti kata study tour ataupun study lapangan, maka perlulah dikaji, diawasi, dan dinilai proses dan hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut.
“Apabila nilai-nilai tersebut sudah tidak ada, maka sudah sepantasnya study tour ditiadakan dan mengganti namanya dengan plesiran saja,” sebut Sika
Perempuan kelahiran Bandar Lampung ini mengingatkan jangan sampai terjadi dan menjadi polemik yang lebih heboh nantinya, study tour ibarat anggota dewan yang mengadakan studi banding keluar daerah bahkan keluar negeri menghabiskan dana besar ternyata tidak ubahnya plesiran dan jauh keluar dari konteks yang sesungguhnya diharapkan dan direncanakan.
“Pemerintah Kota Depok khususnya Dinas Pendidikan kota Depok wajib memikirkan kebijakan baru untuk menggantikan program study tour atau study lapangan ini, minimal bisa memaksimalkan objek wisata yang ada di kota Depok saja tanpa perlu jauh keluar kota dan memberatkan orangtua siswa untuk pembiayaannya,” tegasnya (CPB/DepokNet)