DEPOKNET – Mencuatnya nama Sandi Butar Butar setelah upayanya menguak dugaan penyelewengan pada dinas pemadam kebakaran dan penyelamatan (DPKP) kota Depok menjadi viral, rupanya mendapat perhatian khusus dari aktifis dan penggiat anti korupsi di kota Depok.
Sebagian aktifis beranggapan, pola viralisasi dengan sebelumnya membuat postingan melalui media sosial (medsos) untuk menekan aparat penegak hukum melakukan tindakan terkait dugaan penyelewengan ataupun tindak pidana korupsi merupakan fenomena baru di kota Depok.
Ketua LSM Gerakan Lokomotif Pembangunan (Gelombang) kota Depok, Cahyo P Budiman menilai, upaya Sandi Butar Butar tersebut tampaknya akan banyak ditiru oleh masyarakat mengingat respon luar biasa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah postingan di medsos menjadi viral.
Namun kata Cahyo, hal tersebut malah akan menurunkan level kualitas penanganan laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan penyelewengan atau tindak pidana korupsi yang selama ini ada di kota Depok dan Indonesia pada umumnya.
Sebab selama ini, aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian telah menetapkan semacam ketentuan baku terkait sistem laporan pengaduan masyarakat tersebut.
Cahyo menjelaskan, selama ini pelapor wajib membuat surat laporan tertulis serta melengkapi dengan temuan dokumen dan lampiran data hasil investigasi di lapangan sebelum diserahkan kepada institusi penegak hukum yang ada.
“Tapi ini kan, hanya dengan memposting foto dan memasang wajah polos di medsos, lalu tiba-tiba viral. Kemudian vonis sosial pun berjalan, trial by the netizen, trial by the press, lalu semua institusi penegak hukum pun sontak sibuk 24 jam,” kata Cahyo
Padahal kata Cahyo, selama ini sudah puluhan bahkan ratusan surat laporan pengaduan yang dikirimkan aktifis dan penggiat anti korupsi di kota Depok kepada instansi penegak hukum perihal dugaan penyelewengan dan tindak pidana korupsi.
“Kami biasanya berhari-hari di depan komputer untuk membuat surat laporan pengaduan, belum lagi tim di lapangan yang mengumpulkan bukti dan dokumen, bisa berminggu-minggu bahkan bulan. Itupun belum tentu direspon oleh aparat penegak hukum,” ucapnya.
Tanggapan yang sama juga datang dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (DPP-LAKRI), Bejo Sumantoro.
Bejo mengatakan, mengenai peran serta masyarakat dalam mencari tahu adanya dugaan penyelewengan atau tindak pidana korupsi di suatu lembaga atau instansi jelas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Kalau hanya menaikkan ke medsos tanpa melampirkan adanya bukti, bisa saja kena pasal perbuatan fitnah. Terus masyarakat juga tidak tau apakah kasus adanya dugaan tipikor tersebut di proses atau tidak,” ujar Bejo.
Untuk itu Bejo berharap aparat penegak hukum berhati-hati dalam menyikapi fenomena baru pengaduan masyarakat terkait dugaan tipikor di kota Depok ini.
Sebab sambung Bejo, jika tidak ada laporan resmi masyarakat terkait tipikor, maka tidak bisa aparat penegak hukum diminta pertanggungjawabannya. “jadi terserah mereka mau di tindak lanjuti atau tidak sekalipun viral di medsos, karena tidak ada laporan resmi,” jelasnya
Menurutnya, dalam semua kasus hukum harus tetap mengacu kepada KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/Perdata). Sebab kata Bejo, tidak ada yang namanya proses hukum tidak mengacu pada KUHAP.
“makanya kalau di dorong hanya ke arah di viralkan di medsos tanpa ada laporan yang resmi dan disertai dengan bukti dan fakta yang jelas, maka kasus yang ada dalam medsos tersebut akan menjadi gorengan para oknum mafia kasus yang ingin mengambil celah keuntungan,” ungkap Bejo.
Tanggapan menarik datang dari Ketua Komite Aksi Pemberantasan Organ Korupsi (KAPOK), Kasno yang justru menilai Sandi Butar Butar kurang tepat melakukan penyikapan dalam kapasitasnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di jajaran pemerintah kota Depok.
Kasno yang juga pernah menjadi tenaga honorer di Pemerintah Kota Depok mengatakan, setiap ASN baik Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ataupun Pegawai Negeri Sipil jelas menginduk dan berpayung hukum kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut terang Kasno diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2015 tentang Disiplin PNS
“Ada kode etik dan kode perilaku sebagai ASN yang diatur dalam UU tentang ASN. Ada juga kewajiban dan larangan yang diatur dalam PP tentang PNS. Sandi Butar-Butar jelas terikat dengan aturan-aturan tersebut. Jadi tidak bisa mengambil sikap sendiri-sendiri,” pungkas Kasno (Ant/AM/DepokNet)