DEPOKNET – Empat tahun sudah, sejak tahun 2002, Sugiarti tinggal di asrama Al Hida. Yakni sebuah asrama yang sebenarnya berupa rumah kontrakan yang disewa beramai-ramai oleh sekelompok mahasiswi muslimah berjilbab besar.
Al Hida terletak di Gang Komojoyo, tak jauh dari tempat kuliah Sugiarti di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Di asrama khusus bagi mereka yang menyebut diri akhwat ini, Sugiarti tak hanya menumpang tidur. Tapi ia juga wajib mengikuti kegiatan sebagai kader KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
Ikut kajian rutin dalam kelompok kecil yang disebut liqo’, misalnya, sama sekali menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan. Terkecuali karena sedang sakit atau alasan lain yang masuk akal.
Kelompok pengajian tertutup mirip klandestin, atau unit rahasia gerakan bawah tanah, itu biasanya terdiri 4 sampai 6 peserta, dengan satu ustadzah pendamping yang disebut murobbi, yang harus seorang kader KAMMI senior. Biasanya murobbi juga merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Agenda yang kami lakukan dalam liqo’ di antaranya cek hafalan (ayat Al Quran), setor bacaan, dan curhat kepada jamaah jika ada masalah. Juga menyimak murobbi membacakan taklimat (instruksi) yang sifatnya amniyah (rahasia) dan nggak boleh disampaikan ke orang lain,” kata Sugiarti.
Seperti diketahui, KAMMI dan PKS memang sama-sama tergabung ke dalam kelompok Jamaah Tarbiyah. Sementara, menurut intelektual ulama Ikhwanul Muslimin, Syekh Yusuf Qardhawy, PKS adalah kepanjangan tangan Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Dalam konteks ini, Jamaah Tarbiyah identik dengan gerakan Islam transnasional Ikhwanul Muslimin. Sementara KAMMI organisasi mahasiswanya dan PKS sayap politiknya.
Ingin Belajar Islam
Awalnya Sugiarti menikmati semua peran itu. Latar belakang keluarganya yang abangan, hanya sebatas “Islam KTP”, membuatnya haus akan siraman rohani dari mereka yang dianggap lebih mengerti soal agama Islam.
“Terlahir dari keluarga abangan, yang mana orang tua tak pernah menjalankan ritual agama dan ngaji hanya dari tetangga rumah, membuat saya merasa perlu untuk belajar Islam,” kata perempuan 34 tahun asal Desa Kedungmulyo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang kini bekerja sebagai dosen di Jakarta ini.
Itulah kenapa, Sugiarti remaja memilih aktif di Unit Kerohanian Islam (Rohis) saat masih duduk di bangku SMA Negeri 1 Purworejo. Sempat pula ikut suatu kelompok pengajian, namun setelah hadir beberapa kali, ia memutuskan berhenti.
“Tak lebih dari sebulan ikut ngaji, lalu saya putuskan berhenti karena mbak mentornya, seorang mahasiswi IPB, hanya terus mengulang-ulang tentang khilafah. Kayak iklan teh botol Sosro: apapun masalahnya, khilafah solusinya,” katanya sambil tertawa.
Belakangan Sugiarti mengetahui, kelompok yang materi kajian utamanya masalah politik ini adalah ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi tahun lalu. Pemerintah, melalui Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, telah mencabut status badan hukum ormas HTI karena terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kala itu Sugiarti sudah sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa ustadzah Hizbut Tahrir itu melarang murid-murid ngaji-nya untuk bergabung dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, ikut serta dalam pemilihan umum pun tidak boleh.
“Waktu itu saya bertanya: ‘Mbak jika kita nggak boleh masuk ke dalam sistem, bagaimana caranya berkuasa?’ Dan mbak mentor saya menjawab: ‘Gampang aja dik, kalo massa kita banyak, kita tinggal kerahkan massa’. Saya yang masih polos, waktu itu baru kelas dua SMA, tetiba teringat pelajaran sejarah: pemberontakan DI/TII…. Wah, jangan-jangan mereka (HTI) akhirnya akan melakukan kudeta. Saya pun mulai takut dan memutuskan berhenti mengaji,” kata Sugiarti.
Selain itu, kata Sugiarti, waktu itu ia sebenarnya juga berpikir, lebih penting untuk mengislamkan manusianya lebih dulu daripada mengislamkan sistemnya.
“Tetapi teman-teman ngaji dan mbak mentor terus mempengaruhi saya agar mempercayai doktrin bahwa untuk dapat berislam secara kaffah (sempurna), satu-satunya jalan: sistemnya harus lebih dulu diubah menjadi sistem Islam. Yang dalam pemahaman mereka, artinya harus mengubah Negara Republik Indonesia menjadi sistem khilafah Islamiyah,” imbuh dia.
Niatnya memperdalam agama, tapi yang terjadi justru terus menerus dicekoki doktrin politik Islam radikal, akhirnya membuat Sugiarti tak betah lagi. Ia pun mantap berhenti mengikuti kajian ustadzah dari HTI itu.
Tatkala gejolak di benaknya ihwal Islam belum selesai, Sugiarti harus pindah ke Kota Yogyakarta, sekitar 65 kilometer sebelah timur Purworejo. Saat itu ada kakak kelas yang mengajaknya mengikuti bimbel (bimbingan belajar) sebagai persiapan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
“Kalau kursus di Yogya nanti insya Allah diterima di PTN dik,” kata kakak kelas Sugiarti. Sugiarti pun percaya dengan kata-kata kakak kelasnya di SMA itu, mengingat sang kakak kelas berhasil diterima di Fakultas Kedokteran UGM.
Sugiarti akhirnya mengikuti bimbel yang disarankan kakak angkatannya di SMA tersebut, yakni bimbel Nurul Fikri (NF). Selama mengikuti bimbel di NF, Sugiarti mengaku sangat terinspirasi oleh kehidupan di kos-kosan akhwat (mahasiswi muslimah) Shofuro, tempatnya menumpang sementara. Kos-kosan ini berlokasi di daerah Pogungrejo, Sleman, tak jauh dari kampus UGM Yogyakarta.
“Menurut saya waktu itu, mbak-mbak mahasiswa yang berjilbab besar (di Shofuro) itu sangat keren-keren dan menginspirasi. Mereka ada yang kuliah di jurusan teknik, kedokteran, dan psikologi. Semuanya di UGM,” kata Sugiarti.
“Satu hal lagi yang membuat saya sangat terkesan adalah mereka rajin salat berjamaah dan nggak ada yang pacaran. Bahkan, ketika ada tamu ikhwan (mahasiswa laki-laki) datang pun, mereka merasa perlu menutupkan selembar kain di ruang tamu sebagai tabir atau penghalang. Tujuannya supaya kami tidak saling bertemu mata dengan lawan jenis bukan muhrim,” imbuhnya.
Selain itu, selama Sugiarti mengikuti bimbel di NF juga merasa kagum dengan para staf pengajarnya yang sangat sabar dan tawadhu’ (rendah hati). Mereka juga taat dalam menjaga pandangan (ghodul bashor) kepada lawan jenis yang bukan muhrim.
“Saya, seorang gadis desa, yang semula di rumah terbiasa memakai kaos oblong pun tiba-tiba pulang kampung dengan penampilan baru: gamis warna gelap, jilbab panjang sepantat, dan selalu berkaos kaki. Saya juga menolak bersalaman dengan laki-laki non muhrim; suatu hal yang tak pernah terlintas di benak saya sebelumnya,” kata Sugiarti.
Merasa Paling Benar
Semangat atau ghiroh yang menggebu-gebu lantaran merasa menemukan ajaran Islam yang sebenarnya, kontan membuat Sugiarti merasa wajib menyebarkan apa yang diyakininya ketika itu. Tanpa ada yang menyuruh, ia pun menjadi juru dakwah gratis bagi lingkungan terdekatnya, terutama bagi keluarganya sendiri.
“Saya merasa sudah paling benar waktu itu, dan berani nyeramahin tante dan kakak-kakakku, agar mau mengikuti jejakku,” kata dia.
Setelah dua bulan menjalani bimbel di NF dan selesai UMPTN, tibalah Sugiarti membaca pengumuman dan ternyata ia diterima di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia tetap bersyukur meski pilihan pertama yang menjadi incarannya adalah Jurusan Sastra Inggris UGM.
“Yang penting diterima di PTN yang biayanya masih terjangkau oleh orang tuaku yang hanya buruh tani,” ucapnya.
Setelah memasuki masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek), para seniornya di kos-kosan akhwat Shofuro UGM menyuruh Sugiarti untuk menghubungi para aktivis perempuan KAMMI UNY, agar bisa ditampung di asrama sejenis di sekitar kampus UNY.
“Cari mbak-mbak berjilbab besar dari KAMMI, hati-hati jangan salah ketemu mbak HTI ya, karena sekilas penampilan mereka mirip. Memakai gamis juga tapi jilbab agak kecil,” pesan seniornya di kos Shofuro.
Sugiarti pun langsung menemui para akhwat (aktivis perempuan) KAMMI UNY. Ia lalu ditempatkan di kos-kosan akhwat Al Hida di Gang Komojoyo, sebelah utara kampus UNY.
“Saya pun pindah ke kos Al Hida dan memulai perkuliahan. Karena saya sudah berada di kos akhwat, maka secara otomatis saya diplot untuk aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UNY,” kata perempuan yang pernah lama menjadi dosen di Universitas Sampoerna Jakarta ini.
Karena Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY pun dikuasai kader KAMMI, Sugiarti pun ditarik untuk ikut berkiprah di BEM pula.
Merasa Dimanfaatkan
Berawal dari aktivitasnya di BEM ini pula pelan-pelan kesadaran Sugiarti mulai tumbuh. Ia mulai berani mengkritisi rekan-rekannya sesama kader KAMMI,
“Hari demi hari semakin banyak gejolak, yang terus beranjak menjadi muak, terhadap konsep jamaah (yang diterapkan KAMMI dan PKS). Saya yang tak punya latar belakang ideologis dan pergerakan, mulai merasa dimanfaatkan partai (PKS),” akunya.
Niat Sugiarti belajar agama melalui jamaah Tarbiyah pun semakin terkikis. Ia semakin sadar niatnya belajar agama secara tulus telah disalahgunakan oleh orang-orang PKS dan anak-anak KAMMI untuk tujuan politik.
“Agenda-agenda kampus yang kami lakukan lainnya, termasuk kegiatan BEM, tak lepas dari arahan jamaah (PKS). Ketika membuat event harus mencitrakan jamaah, memanggil pembicara hanya boleh yang ada dalam daftar jamaah. Perasaanku, saya dan teman-teman dimanfaatkan jamaah (PKS) semakin menguat. Yang namanya dakwah, bagi mereka, ternyata untuk kaderisasi partai,” kata Sugiarti.
Seiring munculnya sikap kritis kepada konsep “jamaah” yang politis ala PKS, Sugiarti semakin membuka diri. Ia tak lagi hanya berkumpul dengan sesama mahasiswa kader PKS seperti kebiasaan aktivis KAMMI. Kemampuannya berbahasa Inggris aktif membawanya banyak berteman dengan para mahasiswa asing yang sedang menempuh studi S2 di UGM.
Salah satunya adalah mahasiswa asal Australia, Mathias Hammer. Sugiarti bersahabat dan sering berdiskusi dengan Hammer. Hammer pun terkejut tatkala mengetahui pandangan politik Sugiarti yang ekstrem dan fundamentalis. Hammer menyebut cara berpikir Sugiarti rasis seperti Hitler.
“Sepanjang pertemanan kami tersebut, Hammer sangat respek terhadapku yang memakai baju muslimah dan jilbab panjang. Tetapi rupanya dia melihat ada hal-hal yang harus diluruskan dalam diriku. Makanya dia semakin sering ngajak aku diskusi seputar ideologi, karena menurutnya cara berpikirku itu seperti Hitler,” kata Sugiarti.
Semakin lama pergaulan Sugiarti dengan mahasiswa asing, dari beragam latar belakang, semakin banyak. Sehingga pikiran Sugiarti pun semakin terbuka dan toleran. Sebaliknya, doktrin-doktrin eksklusif ala PKS kian tak menarik minatnya.
“Bangunan doktrin eksklusif dan konspirasi dari PKS pun lambat laun menghilang. Aku begitu menyayangi teman-teman baruku yang berbeda agama, ras, bangsa dan warna rambut itu tanpa sekat. Di sisi lain teman-teman PKS mulai melihatku sebagai kader futur (luntur), karena mulai membantah dan ngeyel saat diperintah,” tutur Sugiarti.
Menurut Sugiarti, para seniornya di PKS sampai mengganti murrobi (ustadzah) untuk dirinya beberapa kali, agar ia kembali taat. Namun, keretakan hubungan antara dirinya dengan teman-temannya dari PKS kian hari kian menganga. Meski tak mudah juga untuk mengakhiri hubungan yang tak harmonis itu.
“Ternyata waktu yang kuperlukan empat tahun untuk bisa betul-betul putus hubungan dengan PKS,” katanya. Sugiarti bisa terbebas dari hegemoni PKS saat ia sudah lulus kuliah dan kemudian hengkang dari kos-kosan akhwat PKS.
Begitu lulus S1 dari UNY, tahun 2010, Sugiarti pindah ke Jakarta. Di sini ia merintis karier sebagai dosen bahasa Inggris di beberapa perguruan tinggi swasta. Termasuk salah satunya yang cukup lama di Universitas Sampoerna.
Ia juga tak ragu lagi melanjutkan studi S2 di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta pada 2011: suatu hal yang mustahil ia lakukan andaikata masih loyal sebagai kader PKS.
Kehidupan Jakarta pun kembali memicu ketertarikan Sugiarti kepada dunia politik. Terlebih ketika muncul huru-hara Ahok melawan para pegiat Islam garis keras yang menuduhnya menista agama.
Sugiarti dengan yakin memilih berdiri sebagai Ahoker. Ia menantang secara terbuka teman-teman lamanya di KAMMI dan PKS yang berdiri melawan Ahok. Hampir setiap hari ia membagikan status dukungan bagi Ahok melalui media sosial Facebook.
Sugiarti juga mulai menjalin komunikasi dengan beberapa alumni KAMMI yang lebih dulu kritis kepada PKS. Didorong salah satu temannya mantan KAMMI yang kini di PDI Perjuangan, Sugiarti mulai membaca buku-buku biografi Bung Karno –suatu hal yang tentu saja dianggap deviasi saat ia masih menjadi kader PKS.
Kebetulan ada kawan kerjanya di Universitas Sampoerna, Dhita Puti Sarasvati, yang memberi Sugiarti buku Biografi Politik Soekarno karya Kapitsa MS dan Maletin NP, terbitan Ultimus Bandung. Dhita adalah anak pengamat ekonomi dan mantan menteri, Rizal Ramli.
Sementara aktivitas Sugiarti mendukung Ahok dalam Pilgub DKI membawa Sugiarti dekat dengan anak-anak muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Grace Natalie. Itulah sebabnya, ia sempat mempertimbangkan untuk bergabung dan maju sebagai caleg partai kaum muda yang membatasi usia pengurus partainya maksimal 45 tahun ini.
Namun Sugiarti ragu. Ini lantaran PSI masih partai baru dan secara historis belum banyak berkiprah dalam politik Indonesia.
Terinspirasi Bung Karno
Maka, didorong rasa kagumnya kepada sosok Bung Karno, yang ia baca dari buku-buku biografinya, Sugiarti pun mulai mencari cara untuk merapat ke partai nasionalis yang lebih senior: PDI Perjuangan.
“Aku butuh teman-teman yang sevisi untuk jalan bersama. Apalagi jika ingin memperjuangkan sesuatu yang riil, sendirian juga rasanya tidak mungkin,” katanya saat ditemui Jokowi App di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta belum lama ini.
Sugiarti lantas bertandang ke kantor DPC PDI Perjuangan Depok, yang dekat dengan rumahnya di Depok.
“Waktu pertama kali aku ke DPC PDIP Depok, tahun lalu, yang kutemui adalah Sekretaris DPC PDIP Depok, Totok Sarjono. Aku terlibat obrolan dengannya dan langsung merasa sangat nyambung. Aku juga merasakan ruh perjuangan yang sama,” kisah perempuan energik yang kini bekerja sebagai dosen di Universitas Kristen Krida Wacana ini.
Tak butuh waktu lama, hanya setahun setelah merapat ke PDI Perjuangan, Sugiarti pada Pemilu tahun ini sudah tercatat sebagai salah satu caleg DPRD Provinsi Jawa Barat mewakili PDI Perjuangan. Sugiarti kebagian daerah pemilihan Depok dan Bekasi, wilayah yang dikenal sebagai salah satu basis PKS.
Awalnya, Sugiarti sempat menominasikan tiga partai sebagai tempat untuk menyalurkan aktivitas politiknya usai menjauh dari PKS. Yaitu PKB, PSI, dan PDI Perjuangan. “PAN sama sekali tidak masuk pertimbangan, lantaran faktor figur Amien Rais yang masih dominan di sana,” katanya sembari tertawa.
Dari tiga partai itu lalu mengerucut menjadi PSI dan PDI Perjuangan dengan pertimbangan keduanya sama-sama berideologi nasionalis dan pendukung Jokowi. “PKB memang Islam moderat, tetapi saya pikir-pikir untuk Indonesia yang majemuk, partai nasionalis dengan ideologi Pancasila yang saya nilai paling pas. Ya apalagi saya sangat terinspirasi dengan pemikiran Bung Karno,” ucapnya.
Sugiarti melihat antara PSI dan PDIP sama-sama nasionalis. Ia tak melihat ada perbedaan di antara keduanya. Bahkan Sugiarti mengaku saat itu dirinya sudah sempat merapat ke PSI. Namun ia masih bimbang.
Karena itulah kemudian ia menghubungi Budiman Sudjatmiko, anggota DPR RI Fraksi PDIP. Kepada Budiman, Sugiarti bertanya faktor apa yang harus dipertimbangkan ketika hendak bergabung ke suatu partai.
“Budiman menjawab: pertama, partai itu sudah teruji secara historis dan kedua, memiliki massa akar rumput yang loyal. Dan PDI Perjuangan memiliki keduanya. Maka dari sinilah saya memutuskan bergabung dengan PDI Perjuangan,” katanya.
Kagum Jokowi
Sejak awal Sugiarti mengaku tertarik kepada figur Jokowi. Latar belakang keluarga Jokowi, yang hanya anak pedagang bambu miskin dan hidup di rumah sempit di pinggir kali, tak jauh beda dengan latar belakang keluarga Sugiarti di Purworejo.
Seperti Jokowi, Sugiarti pun bisa memperbaiki nasib karena nekat kuliah. Padahal orangtua Sugiarti hanyalah buruh tani miskin di pedalaman Kabupaten Purworejo. Namun ia nekat merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Meski cita-cita kuliah di almamater Jokowi di UGM tak kesampaian, tetapi Sugiarti bersyukur karena UNY pun perguruan tinggi negeri. Sehingga biaya kuliahnya tidak terlampau membebani orangtuanya yang bukan orang berada.
“Ada satu alasan personal yang membuat aku tertarik kepada Pak Jokowi. Yaitu beliau terlahir dari orang biasa, bukan dari golongan priyayi. Dan, setelah melewati perjuangan hidup yang tidak mudah, akhirnya beliau bisa berhasil menjadi Presiden,” kata perempuan yang kini kadang berjilbab kadang tidak ini.
“Ini membongkar tradisi politik feodal dan oligarkis. Jika dulu yang dianggap bisa menjadi presiden atau tokoh nasional hanya anak priyayi atau golongan kaya dan terpandang, Jokowi yang anak orang miskin dari daerah membuktikan: siapa saja warga negara kita bisa menjadi apa saja yang diinginkan, asal bersungguh-sungguh. Seperti bunyi sebuah hadis Nabi SAW yang sering dikutip Ahok: Man jadda wa jada. Barangsiapa bersungguh-sungguh, dia akan menuai hasil,” kata Sugiarti.
Selain itu, Sugiarti merasakan di bawah kepemimpinan Pak Jokowi, semua lapisan rakyat kecil seperti dirinya pun bisa menjangkau presiden nyaris tanpa sekat.
“Dan aku yakin pemimpin yang berasal dari rakyat kecil tahu betul rasanya menjadi rakyat kecil. Sehingga ia pun akan benar-benar memperjuangkan rakyat kecil,” imbuhnya.
Selain alasan ketertarikan pada pribadi Jokowi, Sugiarti juga mengapresiasi program kerja Jokowi yang tertuang dalam Nawacita (visi misi Jokowi –Red). Terlebih kinerja Presiden Jokowi dalam merealisasikan program kerja itu juga jelas terlihat nyata.
“Roadmap program kerjanya (Jokowi) jelas jika kulihat dari Nawacita. Dan pendukung beliau juga kaum nasionalis, nggak ada yang radikal,” kata ibu muda dua anak ini.
Sugiarti menilai, dari kinerjanya selama empat tahun pemerintahan Jokowi-JK juga terlihat jelas dari hasil pembangunan seperti infrastruktur, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), reformasi agraria dengan perhutanan sosial dan sertifikasi gratis dan sebagainya. Ia juga melihat keseriusan Jokowi dalam memberantas korupsi.
Itulah kenapa saat ini Sugiarti merasa mantap sekali mendukung pasangan nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf Amin. Status Facebook pribadinya pun memperlihatkan hal itu.
Status yang di-posting-nya di medsos pekan ini, misalnya, tampak meme berisi fotonya dan pesan berbunyi ajakan untuk memilih Jokowi-Ma’ruf Amin: “Orang baik pilih orang baik. Kita pilih Jokowi sekali lagi untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Salam jempol, Jokowi menang.”
Sumber : Jokowi App
Penulis : Djarot Doso ( Tim Penulis Jokowi App)